Pola Pikir Konvensional di Masa Pandemi

Masa pandemi di negara ini belum juga usai. Setelah satu tahun lebih bermukim tanpa celah yang mengindikasikan adanya 'perkembangan', 'perbaikan', atau entah apalah namanya itu. Hari demi hari dilalui dengan peningkatan kasus yang terkadang memberikan harapan, sekaligus juga menjelma keputusasaan. Hari raya jelas memegang peranan besar. Peningkatan kasus perhari ini sudah mencapai 12.000 lagi! Jumlah yang sama jauh sebelum Hari Raya Idul Fitri. Sekarang seakan warga negara Indonesia harus kembali lagi ke titik nol untuk mengurangi kasus ini sedikit demi sedikit lagi. 

Peraturan yang diberikanpun sudah cukup jelas; setidaknya jelas bagiku sendiri. Protokol kesehatan yang juga menurutku tidak cukup efektif jika dipahami tanpa pola pikir yang berorientasi ke depan dan tidak terkungkung oleh aturan-aturan lama yang 'terkadang' tidak dapat dipahami secara rasional. Peraturan yang diberikan jelas bersifat tetap, hanya tinggal dipatuhi, diikuti dan diberdayakan sedemikian rupa sehingga efektif paling tidak untuk diri sendiri. 

Vaksin pun sekarang sudah bisa digunakan sedemikian rupa sebagai salah satu fasilitas untuk paling tidak melindungi diri kita sendiri. Tidak perlu berpikir terlalu jauh untuk orang lain, paling tidak diri kita sendiri dulu yang memerlukan kesehatan untuk hidup sebagaimana manusia pada umumnya. Setidaknya bagiku sendiri yang masih perlu hidup ini untuk hal-hal yang belum aku rasakan, belum aku capai sampai sekarang. Bantuan-bantuan dan berbagai fasilitas terkadang tidak dipahami sebagaimana mestinya oleh sebagian masyarakat Indonesia. Aku pribadi berusaha tidak menggeneralisasikan hal ini, hanya yang aku alami secara pribadi terhadap salah seorang yang aku kenal. Yang mungkin saja lingkungan di sekitar tempat tinggalnya juga mempunyai sikap yang sama.

Aku mengenal seorang wanita paruh baya. Usianya sekitar 40 tahunan. Sebut saja namanya X. Pada suatu peristiwa, ia pernah memberikan pandangannya yang menolak melakukan vaksinasi. Ia beranggapan bahwa Tuhan yang ia sembahlah yang akan melindunginya dari penularan covid. Ia pasrah terhadap kehendak Tuhannya dan berprinsip "apapun yang terjadi, maka terjadilah"-- kalau Tuhannya meridlai itu terjadi padanya. Ia tidak suka ditanya-tanya soal vaksin dan mengapa menolaknya. Ia marah! 

Peristiwa ini tentu menjadi ironi tersendiri tentang bagaimana pola pikir masyarakat bangsa kita yang masih terikat dengan aturan-aturan yang sangat baku. Aku ingin menganalogikan peristiwa ini dengan 'jodoh'. Ada orang bijak yang pernah mengatakan bahwa "jodoh di tangan Tuhan." Lalu manusia-manusia modern abad ini menyambungkan, kalau jodoh tidak dicari, ya sama saja akhirnya. Tidak akan dapat juga. Hanya berdiam diri seharian di rumah tapi mengharapkan datangnya jodoh yang sempurna. Mimpi! Kurang lebih seperti itu. 

Hal seperti ini sebenarnya sangat terkait dengan kasus X. Tuhannya yang Maha Esa telah membantu manusia-manusia, termasuk dirinya, dengan hal-hal, ciri, atau kode-kode tertentu yang harus manusia pahami. Manusia juga harus cerdas! Tidak bisa mentah-mentah menerima bahwa Tuhan akan melindunginya dari marabahaya, dari covid, dari apapun penyakit -- jikalau sudah diridlaiNya. Sungguh ironi! Tuhan telah memberikan petunjuknya untuk kita dapat pahami, dengan menyediakan berbagai fasilitas, berbagai bentuk bantuan, untuk menolong manusia yang dicintai-Nya agar dapat terbebas dari pandemi yang bernama covid itu. Salah satunya dengan vaksin ini yang telah satu tahun lebih proses pembuatannya. Tuhan telah mengiringi setiap langkah dan perjuangan sehingga vaksin ini bisa tersedia. Kita sebagai manusia harus bisa berpikir juga ke sana dan tinggal berterima kasih atas petunjuknya. 

Jodoh pun kalau tidak dicari ya sama saja, tidak akan ketemu. Perlindungan jika tidak kita pahami juga ya sama saja, tidak akan selamat. Itulah manusia!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sajak untuk Lanang

Sajak tentang Kamu - Ini Kisah Perjalanan Waktu tentang Aku dan Kamu