Keinginan Seorang Anak

Tok.. Tok.. Tok..

Suara ketukan pintu kayu

yang tak asing di telingaku,

membuka bibir mata yang mesra

lewat celah cahaya di pinggir jendela.

 

Baskara sudah tiba di semesta!

 

“Bangun, sudah jam setengah tujuh.”

Tutur nyaring yang seperti angin.

Tak tergubris oleh telinga yang menguncup,

telinga yang dingin.

Malam seakan enggan

melahap sisa-sisa lelah

yang bergeming di pelupuk mata,

yang tak sanggup menyapa cahaya.

 

Selang tak berapa lama

badan bersih jiwa sentosa.

Ufuk timur masih setia

menyaksikan empat kepala,

menunduk menatap layar yang menyala.

Tanpa suara.

 

“Selamat pagi!”

Tak ada sepatah kata,

hanya hembusan angin,

hanya suara cicak yang mencercit,

yang malu-malu dan sembunyi

di balik jam dinding.

Cicak yang selalu baik,

yang selalu ramah,

yang selalu menjawab salam.

 

Tak ada tatapan pagi itu.

Empat kepala dengan satu tangan sibuk,

sepotong roti kupas di tangan yang lain.

Meja dan kursi bertatapan,

tanpa isyarat ikut terlelap

dalam kantuk yang tak tertahankan.

Tak ada percakapan,

tak ada kenangan.

Hanya bubuk susu

yang mengendap di dasar gelas.

Hanya surat kabar yang kucel

yang tak dibaca habis pemiliknya.

 

Semuanya berhamburan,

tanpa salam,

tanpa kecupan,

hanya pemberitahuan

pergi ke tempat tujuan.

Ayah ke kantor,

ibu ke dapur,

kakak ke kampus,

dan adik ke kamarnya.

Persiapan belajar daring katanya.

Katanya...

 

Mataku tertuju pada aku,

yang terakhir yang masih setia

dengan sepotong roti

dan segelas susu hangat.

Sendirian dimakan sepi.

Hanya hening yang menemani,

hanya hembusan angin

yang lalu-lalang tanpa permisi.

 

Aku heran setiap pagi,

terbiasa juga setiap pagi.

Terbiasa dengan sepi,

terbiasa dengan matahari.

 

Dalam sepi itu

kadang aku melongok,

mematung pada celah cahaya

yang masuk lewat kisi-kisi jendela

yang membentuk bayangan keluarga.

Keluarga yang lengkap

selengkap-lengkapnya.

 

Hening itu membaca pikiranku

yang samar-samar terdengar lirih

dan berharap pada air mata yang mendidih.

 

Aku tidak banyak mau,

aku tidak butuh kecupan,

aku tidak butuh sayang,

aku tidak butuh pujian.

 

Aku hanya bermusuhan dengan hening

yang tak rindu suara angin,

yang tak rindu sapaan cicak.

 

Aku hanya ingin menjadi anak,

anak dari sebuah keluarga

yang bersahabat dengan pagi,

yang menentang sepi.

 

Yang menyatu di sebuah meja bercorak kayu

sambil menikmati obrolan kecil

dalam secangkir susu hangat.

 

Selalu..


Terjerat Aksara (2021)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sajak untuk Lanang

Sajak tentang Kamu - Ini Kisah Perjalanan Waktu tentang Aku dan Kamu