Takdir Alam
Kabut terbenam di balik cahaya,
menanti warna yang malu menampakkan dirinya.
Matahari perlahan membuka gerbang cakrawala,
memanggil burung yang berkicau walau terluka.
Pohon-pohon menggapai langit lewat hembusannya,
diterpa angin yang tamak dan buas,
tertawa picik di bawah jati yang meranggas.
Akar pohon seketika menjelma ular
dimangsa lipan yang tak sadar kekuatannya.
Tangisan tanah mewarnai kelamnya interaksi,
air mata menetes lewat celah pori.
Alampun merintih pilu,
terbenam dalam sakitnya kebingungan
seperti sepasang merpati yang tersesat di tempat berbeda
dengan polos berkicau merdu ke sana kemari
di bawah naungan predator tanpa nyali.
Leluhur hutan tersedak sampai mati.
Sesak batang mencium aroma asap tembakau.
Rantingpun semakin tak berdaya.
Hembusan angin memisahkan keduanya.
Rantingpun pasrah saja,
tergeletak jatuh ke atas tanah yang sedang menangis.
Seluruh mata menatapnya miris.
Napas berhenti daun tak rela ikut mati.
Dengan sayup pohon itu berkata,
“Aku tak ingin lagi jadi paru-parumu,
remah tembakau itu telah merusak ranting kecilku.
Aku tak rela melihat kawannya seperti itu.”
Gubrak suarapun terdengar.
Pohon itu jatuh ke atas tanah
menimpa lipan dan ular sawah.
Menyatu dengan ribuan leluhurnya
Komentar
Posting Komentar