Si Komo
Hujan deras sore itu
mobil-mobil kompak mengancam waktu.
Waktu yang sedang duduk santai
menikmati secangkir kopi di teras langit.
Mobil-mobil tidak tahu-menahu
soal perkara yang tak terlihat mata besarnya.
Bajaj yang ngantuk dan pikun
mulai sekarat diguyur se-ember air
yang terjun dari Kali Ciliwung.
Bemo dengan mata besarnya coba menjelajah,
merayu jalan dengan bodi montoknya.
Tak ada jawaban.
Jalan sombong itu tak peduli pada rayuan jadulnya.
Terlintas sebuah ekor bergerigi
melata di atas halte yang riuh.
Si komo berkaki besar tidak sengaja
tertidur di depan antrean truk bermuatan pasir.
Ia terlelap seperti habis ronda
di RT yang baru saja kemalingan motor.
Mulutnya yang besar menghalangi trotoar,
trotoar yang menjadi arena perang
para (ojek) elit berkostum hijau.
Tak tampak ada kaki-kaki yang bahagia
menapaki jalan-jalan kecil yang berlubang,
aspal yang menuntut di persidangan.
Si Komo marah-marah
kepada motor-motor yang berisik tidak karuan.
Alisnya melilit tiang listrik dan menikam kabel-kabel dengan
racunnya.
Semua jadi tak terkendali,
semua menjadi buta.
Ribuan asap knalpot protes
saling bertumpukan.
Tidak jaga jarak.
Si komo hanya ingin tidur, tidak peduli
pada wabah yang kata orang bernama covid itu.
Komo memang egois.
Sikapnya yang bodo amat
pada janji langit yang mulai menua
dan tipu daya yang menghantui penghuni kota
memaksanya menjadi liyan di negeri sendiri.
Menutup telinga untuk segala perkara
dan terlelap di saat orang-orang sibuk bekerja.
Komentar
Posting Komentar