Postingan

Hempas

  Hempas ------------------------------------------------------------------ Apa yang pilu dari menunggu? Walau semua akan semu Lukisan agung mewarnai gempita langit yang merdu Sayap-sayap abu menunggu pulang ciptaan biru Tergulung waktu yang menikam damai sore itu Hempas ... Terbang ... dan terhempas ... ...

Sajak tentang Kamu - Ini Kisah Perjalanan Waktu tentang Aku dan Kamu

Pelataran hati, 26 Desember 2021 pukul 12.00 WIB. Pagi ini tak begitu dingin. Kolase foto pada media sosialmu membuat bola mata berjingkrak tak terkendali. Warna-warnimu melukis imajinasi pada hitam putih kanvas usang dalam diriku. Aku bahkan bertanya-tanya hingga siang itu: apakah pahitnya realita akan bertabrakan dengan manisnya bayang yang kau ciptakan? Ataukah mungkin elegi yang terlantun setiap pagi ini hanyalah butiran sendu yang kau titipkan pada hati yang sedang mencari-cari. Pelataran hati, tempat ku menunggu dan mematung bersama fantasi yang tak lagi bergumam setiap hari – terkubur rapat kala jemarimu tak lagi membalas pesan itu, hilang dan terlupakan. Rindu terbenam, 30 Desember 2021 pukul 9.54 WIB Bulan segera berganti, tahun lekas tutup usia. Di kamar ini, ragaku tetap sendiri. Konsistensi yang terjaga walau tahun datang silih berganti. Walau musim-musim menghiasi jendela yang kubuka setiap pagi. Hawa yang selalu terasa sama. Embun yang tampaknya sudah mengenal rup

Banjir

Jalan-jalan mulai berteriak pada ‘kekal’ yang enggan beranjak. Di sudut jalan sambil mengepalkan tangan pada malam yang bimbang, menimang-nimang kekuatan hingga salah-salah dimanfaatkan.   Di suatu sore yang pahit tanpa jingga, kelabu menusuk mata. Dengan nyanyian hujan yang bersemangat merendam kaki hingga terlelap. Dalam lautan hitam yang lepas dan bebas, berayun-ayun dalam kedap, terombang-ambing renjana yang terikat maut dan tipu muslihat.

Aroma Kita

Aku berkicau dengan napasku Semerbak aroma yang tak biasa   Saliva mengikis tumpul jemariku Tak tertahankan mengoyak isinya   Aku mencium aromaku Aroma yang dapat didengar sepasang telinga   Dari kejauhan kau tatap risi Dari sana pula kau bergumam   Aroma ini akan selalu sama Tak perlu rancu dengan wanginya   Sebentar semerbaknyapun hilang Menyapa lembut napasmu Memangku cinta aroma kita

Takdir Alam

Kabut terbenam di balik cahaya, menanti warna yang malu menampakkan dirinya. Matahari perlahan membuka gerbang cakrawala, memanggil burung yang berkicau walau terluka.   Pohon-pohon menggapai langit lewat hembusannya, diterpa angin yang tamak dan buas, tertawa picik di bawah jati yang meranggas.   Akar pohon seketika menjelma ular dimangsa lipan yang tak sadar kekuatannya. Tangisan tanah mewarnai kelamnya interaksi, air mata menetes lewat celah pori.   Alampun merintih pilu, terbenam dalam sakitnya kebingungan seperti sepasang merpati yang tersesat di tempat berbeda dengan polos berkicau merdu ke sana kemari di bawah naungan predator tanpa nyali.   Leluhur hutan tersedak sampai mati. Sesak batang mencium aroma asap tembakau. Rantingpun semakin tak berdaya. Hembusan angin memisahkan keduanya.   Rantingpun pasrah saja, tergeletak jatuh ke atas tanah yang sedang menangis. Seluruh mata menatapnya miris. Napas berhenti daun tak rela ik

Kemana kau, Monik ?

Ponsel ini tak bergeming dalam hening. Suaranya menari-nari di kepala, menelisik ruang-ruang kosong yang lama tak ditempati pemiliknya.   Waktupun tak mau berkompromi, tertawa melihat dosa anaknya sendiri. Anak yang selalu tunduk pada waktu, yang membuang-buang waktu menunggu senja yang tak tiba.   Denyut ponsel itu luruh bersama kenangan yang timpang.   “Kemana kau, Monik ?”   Bunga bakung itu mulai melayu, tak akan sabar menanti kabar darimu.   Walau malam segera berlalu menyambut fajar yang akan hambar, jam dinding tetap mendoakanku, setia mendampingi kesepianku. Menguatkan rasa dari setiap detik yang terlewat agar aku tetap bertahan di jalan setapak.   Jalan yang penuh kejutan hingga aku melihatmu menjemputku di ujung jalan besar sana.

Sajak untuk Lanang

 Teringat sebuah nama yang terisak di balik air mata. Yang berlinang di sepanjang kali tanpa tepi, menunggu pulang orang yang tersayang sambil terhanyut dalam adukan secangkir kopi hangat.   Bunyi hentakan pada cangkir rindu memanggil pulang nama yang resah di perjalanan. Menanti-nanti suara tangisan yang berpesan buat ayah tersayang.   Segera pulang dan baca koran, kebiasaan yang tak mungkin terulang. Bahagia selalu, Lanang – Kami mengenangmu dalam lembar-lembar foto yang telah usang.